Jumat, 17 Desember 2010

TUGAS JURNAL KEPERAWATAN GAWAT DARURAT “TRAUMA ABDOMEN”, “ASMA BRONKIAL”, DAN “H1N1”

TUGAS JURNAL KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
“TRAUMA ABDOMEN”, “ASMA BRONKIAL”, DAN
“H1N1”





OLEH
TRISNA DE VEGA 04053103019
WIDIA FEBRIANTI 04053103021
INDAH DEWI RIDAWATI 04053103039


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDERALAYA
2010


A. TRAUMA ABDOMEN
1.Definisi
Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma abdomen yaitu trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang menyebabkan timbulnya gangguan/kerusakan pada organ yang ada di dalamnya.

Jenis trauma abdomen ada trauma tumpul dan trauma tembus. Pada trauma tembus resiko terjadinya kerusakan organ lebih sedikit daripada trauma tumpul tetapi pada trauma tembus dapat mengenai tulang belakang dan organ yang berada di retroperitoneal.

2.Pengkajian Klien dengan Trauma Abdomen
Pada pengkajian biasanya ditemukan nyeri sehingga perlu ditelaah bagaimana permulaan nyeri ini timbul secara mendadak atau beransur-angsur, area nyerinya (menetap, beralih/pindah, difus/menyebar), kualitas dari nyerinya (ditusuk, tekanan, terbakar, irisan atau bersifat kholik), perubahan nyeri ketika baru pertama timbul dengan sekarang dibandingkan, lamanya dan factor yang mempengaruhi untuk memperingan atau memperberat seperti sikatp tubuh, makan, minum, nafas dalam, batuk, bersin, perubahan suara, hearthburn, muntah, konstipasi, diare, dan siklus menstruasi.

Kolik itu sendiri merupakan nyeri yang sangat, disertai dengan muntah dan distensi yang makin lama makin membesar tetapi tanpa disertai defans muscular yang jelas hal ini bisa disebabkan oleh obstruksi usus halus (sering menimbulkan kolik dengan muntah hebat, distensi abdomen, dan biasanya bising usus meningkat), organ urologi (kolik ureter), kolik empedu, pankreatitis akut, trombosis pada vena messentrika. Sedangkan pada perforasi tukak peptic khas ditandai dengan perangsangan peritoneum yang dimulai dari epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum. Hal ini diakibatkan karena peritonitis generalisata seperti halnya pada perforasi ileum.

Untuk pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru palpasi. Untuk inspeksi lihat mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah, tanda-tanda vital, sikap berbaring, gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, daerah lipat paha (inguinal, skrotum bila terdapat hernia biasanya ditemukan benjolan).
Pada trauma abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis. Echimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di intra abdomen. Terdapat Echimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut ‘Cullen’s Sign’ sedangkan echimosis yang ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai ‘Turner’s Sign’. Terkadang ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar seperti usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus/tajam.

Untuk auskultasi selain suara bising usus yang diperiksa di ke empat kuadran dimana adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus.,juga perlu
didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis.

Perkusi untuk melihat apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi tinju dengan meletakkan tangan kiri pada sisi dinding thoraks pertengahan antara spina iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga terjadi getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda adanya radang/abses di ruang subfrenik antara hati dan diafraghma. Selain itu bisa ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi bila ditemukan Balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul kanan ketika klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya rupture limpe. Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras pada hati menandakan adanya udara bebas yang masuk.

Untuk teknik palpasi identifikasi kelembutan, kekakuan dan spasme hal ini dimungkinkan diakibatkan karena adanya massa atau akumulasi darah ataupun cairan. biasanya ditemukan defans muscular, nyeri tekan, nyeri lepas. Rectal tusi (colok dubur) dilakukan pada obstrusi usus dengan disertai paralysis akan ditemukan ampula melebar. Pada obstruksi kolaps karena tidak terdapat gas di usus besar. Pada laki-laki terdapat prostate letak tinggi menandakan patah panggul yang signifikan dan disertai perdarahan.Biasa juga pada klien dilakukan uji psoas dimana klien diminta mengangkat tungkai dengan lutut ekstensi dan pemeriksa memberi tekanan melawan gerak tungkai sehingga muskulus iliopsoas dipaksa berkontrasi. Jika terasa nyeri di bagian belakang dalam perut artinya sedang terjadi proses radang akut/abses di abdomen yang tertekan saat otot iliopsoas menebal karena kontraksi. Uji ini biasanya positif pada klien dengan appendiksitis akut.

Selain uji psoas, ada uji obturator dimana tungkai penderita diputar dengan arah endorotasi dan eksorotasi pada posisi menekuk 90 derajat di lutut atau lipat paha. Jika klien merasa nyeri maka menandakan adanya radang di muskulus obturatorius.
Untuk ketepatan diagnosa perlu adanya pemeriksaan-pemeriksaan penunjang seperti hematologi (Hb, Leukosit, Hematokrit, PT,APTT), radiologi (BNO/foto polos abdomen, servikal lateral, thoraks anteroposterior/AP dan pelvis) Diagnostic Peritoneal Lavage/DPL, USG, CT SCAN.

KRITERIA DPL USG CT SCAN
Indikasi Menentukan adanya
perdarahan bila TD
menurun Menentukan cairan bila
TD menurun Menentukan organ
cedera bila TD normal
Keuntungan Diagnosis cepat dan
sensitif, akurasi 98% Diagnosis cepat, tidak
invasif dan dapat diulang,
akurasi 86-97% Paling spesifik untuk cedera, akurasi 92-98%
Kerugian Invasif, gagal
mengetahui cedera
diafragma atau cedera retroperitoneum Tergantung operator distorsi gas usus dan udara di bawah kulit. Gagal mengetahui cedera diafragma usus, pankreas Membutuhkan biaya
dan waktu yang lebih lama, tidak mengetahui cedera diafragma, usus dan pankreas

3. Gejala/tanda dari trauma abdomen
Gejala/tanda dari trauma abdomen sangat tergantung dari organ mana yang terkena, bila yang terkena organ-organ solid (hati dan lien) maka akan tampak gejala perdarahan secara umum seperti pucat, anemis bahkan sampai dengan tanda-tanda syok hemoragic. Gejala perdarahan di intra peritoneal akan ditemukan klien mengeluh nyeri dari mulai nyeri ringan sampai dengan nyeri hebat, nyeri tekan dan kadang nyeri lepas, defans muskular (kaku otot), bising usus menurun, dan pada klien yang kurus akan tampak perut membesar, dari hasil perkusi ditemukan bunyi pekak.
Bila yang terkena organ berlumen gejala yang mungkin timbul adalah peritonitis yang dapat berlangsung cepat bila organ yang terkena gaster tetapi gejala peritonitis akan timbul lambat bila usus halus dan kolon yang terkena. Klien mengeluh nyeri pada seluruh kuadran abdomen, bising usus menurun, kaku otot (defans muskular), nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok.
Trauma abdomen juga biasanya merupakan kasus yang paling sering dijumpai dengan multiple trauma, yang melibatkan trauma thoraks dimana biasanya ditemukan robekantumpul di setiap bagian diafragma, tetapi hemidafragma kiri lebih sering cedera. Cedera yang paling sering terjadi adalah robekan sepanjang 5 – 10 cm dan meliputi hemidiaframa kiri posterolateral. Pada saat pertama klai dilakukan rontgen thoraks, maka yang mungkin nampak adalah terangkatnya atau blurring/kaburnya hemidiafragma, hemotroaks, bayangan gas abnormal yang menyembunyikan himidiafragma atau pipa gastrik (NGT) yang tampak terletak di dada.
Pada trauma ginjal biasanya ada hematuri, nyeri pada costa vertebra, dan pada inspeksi biasanya jejas (+). Pada kasus trauma abdomen ini yang paling mendapat prioritas tindakan adalah bila terjadi perdarahan di intra abdomen (yang terkena organ solid).

4. Masalah Keperawatan Yang Muncul Pada Klien Dengan Trauma Abdomen
a. Syok hipovolemik
b. Gangguan rasa nyaman;nyeri
c. Gangguan rasa aman ; cemas
d. Gangguan pemenuhan nutrisi
e. Perubahan pola eliminasi bab/bak
f. Resiko penyebaran infeksi
g. Biila disertai dengan adanya robekan pada diafragma maka masalah keperawatan
yang muncul disertai dengan gangguan oksigenasi.

5. Tindakan Keperawatan Pada Klien Dengan Trauma Abdomen
Penanganan dari keadaan klien dengan trauma abdomen sebenarnya sama dengan prinsip penanganan kegawatdaruratan, dimana yang pertama perlu dilakukan primary survey. Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma pada penderita yang terluka parah terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan primary survery yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABC –nya trauma dan berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut:
A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervikal spine control)
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi control (ventilation control)
C: Circulation dengan control perdarahan (bleeding control)
D: Disability : status neurologis (tingkat kesadaran/GCS, Respon Pupil)
E: Exposure/environmental control: buka baju penderita tetapi cegah hipotermia

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitnya dilakukan saat itu juga. Penyajian primary survey di atas dalam bentuk berurutan (sekuensial), sesuai prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam praktek hal-hal di atas sering dilakukan berbarengan (simultan). Tindakan keperawatan yang dilakukan tentu mengacu pada ABCDE. Yakinkan airway dan breathing clear. Kaji circulation dan control perdarahan dimana nadi biasanya lemah, kecil, dan cepat. Tekanan darah sistolik dan diastole menunjukkan adanya tanda syok hipovolemik, hitung MAP, CRT lebih dari 3 detik maka perlu segera pasang intravenous line berikan cairan kristaloid Ringer Laktat untuk dewasa pemberian awal 2 liter, dan pada anak 20cc/kgg, bila pada anak sulit pemasangan intra venous line bisa dilakukan pemberian cairan melalui akses intra oseus tetapi ini dilakukan pada anak yang umurnya kurang dari 6 tahun. Setelah pemberian cairan pertama lihat tanda-tanda vital. Bila sudah pasti ada perdarahan maka kehilangan 1 cc darah harus diganti dengan cairan kristaloid 3 cc atau bila kehilangan darah 1 cc maka diganti dengan darah 1 cc (sejumlah perdarahan).
Setelah itu kaji disability dengan menilai tingkat kesadaran klien baik dengan menilai menggunakan skala AVPU: Alert (klien sadar), Verbal (klien berespon dengan dipanggil namanya), Pain (klien baru berespon dengan menggunakan rangsang nyeri) dan Unrespon (klien tidak berespon baik dengan verbal ataupun dengan rangsang nyeri).
Eksposure dan environment control buka pakaian klien lihat adanya jejas, perdarahan dan bila ada perdarahan perlu segera ditangani bisa dengan balut tekan atau segera untuk masuk ke kamar operasi untuk dilakukan laparotomy eksplorasi.
Secondary survey dari kasus ini dilakukan kembali pengkajian secara head to toe, dan observasi hemodinamik klien setiap 15 – 30 menit sekali meliputi tanda-tanda vital (TD,Nadi, Respirasi), selanjutnya bila stabil dan membaik bisa dilanjutkan dengan observasi setiap 1 jam sekali.
Pasang cateter untuk menilai output cairan, terapi cairan yang diberikan dan tentu saja hal penting lainnya adalah untuk melihat adanya perdarahan pada urine. Pasien dipuasakan dan dipasang NGT (Nasogastrik tube) utnuk membersihkan perdarahan saluran cerna, meminimalkan resiko mual dan aspirasi, serta bila tidak ada kontra indikasi dapat dilakukan lavage.
Observasi tstus mental, vomitus, nausea, rigid/kaku/, bising usus, urin output setiap 15 – 30 menit sekali. Catat dan laporkan segera bila terjadi perubahan secra cepat seperti tanda-tanda peritonitis dan perdarahan.
Jelaskan keadaan penyakit dan prosedur perawatan pada pasien bila memungkinkan atau kepada penanggung jawab pasien hal ini dimungkinkan untuk meminimalkan tingkat kecemasan klien dan keluarga.
Kolaborasi pemasangan Central Venous Pressure (CVP) untuk melihat status hidrasi klien, pemberian antibiotika, analgesic dan tindakan pemeriksaan yang diperlukan untuk mendukung pada diagnosis seperti laboratorium (AGD, hematology, PT,APTT, hitung jenis leukosit dll), pemeriksaan radiology dan bila perlu kolaborasikan setelah pasti untuk tindakan operasi laparatomi eksplorasi.

B. ASMA BRONKIAL
1. Pengertian
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American Thoracic Society ).

2. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
a. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
b. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

3. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
a. Faktor predisposisi
• Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi
• Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan.
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan

• Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
• Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
• Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
• Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

4. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.











5. Manifestasi Klinik
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.
Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.

6. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
• Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
• Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
• Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
• Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan
viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.

b. Pemeriksaan darah
• Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
• Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
• Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
• Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
• Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
• Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
• Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
• Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
• Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.

b. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
c. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
• Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
• Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right bundle branch block).
• Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.

d. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

8. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
a. Status asmatikus.
b. Atelektasis.
c. Hipoksemia.
d. Pneumothoraks.
e. Emfisema.
f. Deformitas thoraks.
g. Gagal nafas.

9. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
a. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera.
b. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
c. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.

Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
a. Pengobatan non farmakologik :
• Memberikan penyuluhan
• Menghindari faktor pencetus
• Pemberian cairan
• Fisiotherapy
• Beri O2 bila perlu.

b. Pengobatan farmakologik :
• Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :
1) Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat :
 Orsiprenalin (Alupent)
 Fenoterol (berotec)
 Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.


2) Santin (teofilin)
Nama obat :
 Aminofilin (Amicam supp)
 Aminofilin (Euphilin Retard)
 Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).

• Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anakanak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
• Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungan obat ini adalah dapat diberika secara oral.

10. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
a. Riwayat kesehatan yang lalu :
• Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
• Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
• Kaji riwayat pekerjaan pasien.

b. Aktivitas
• Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
• Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
• Tidur dalam posisi duduk tinggi.

c. Pernapasan
• Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
• Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
• Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
• Adanya bunyi napas mengi.
• Adanya batuk berulang.

d. Sirkulasi
• Adanya peningkatan tekanan darah.
• Adanya peningkatan frekuensi jantung.
• Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
• Kemerahan atau berkeringat.

e. Integritas ego
• Ansietas
• Ketakutan
• Peka rangsangan
• Gelisah

f. Asupan nutrisi
• Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
• Penurunan berat badan karena anoreksia.

g. Hubungan sosial
• Keterbatasan mobilitas fisik.
• Susah bicara atau bicara terbata-bata.
• Adanya ketergantungan pada orang lain.

h. Seksualitas
• Penurunan libido

11. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
Hasil yang diharapkan : mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi bersih dan
jelas.
INTERVENSI RASIONALISASI
Mandiri
• Auskultasi bunyi nafas, catat





• Kaji / pantau frekuensi catat rasio inspirasi / ekspirasi.




• Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.


• Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh : meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur.

• Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll

• Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.

Kolaborasi
• Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.

• Beberapa derajat spasme adanya bunyi nafas, ex: mengi bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.

• Tachipnea biasanya ada pada pernafasan, beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut.

• Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.

• Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.


• Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.

• Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.


• Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.

Diagnosa 2 : Malnutrisi b/d anoreksia
Hasil yang diharapkan : menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang
tepat.
INTERVENSI RASIONALISASI
Mandiri
• Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan makanan.

• Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.


Kolaborasi
• Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
• Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea.


• Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapat menyebabkan mual/muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.



• Menurunkan dipsnea dan meningkat-kan energi untuk makan, mening-katkan masukan.

Diagnosa 3 : Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen
(spasme bronkus)
Hasil yang diharapkan : perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edukuat.
INTERVENSI RASIONALISASI
Mandiri
• Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.



• Palpasi fremitus


• Awasi tanda vital dan irama jantung.



Kolaborasi
• Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien.
• Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasi kan beratnya hipoksemia.

• Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.

• Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.

• Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.


Diagnosa 4 : Risiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuat imunitas.
Hasil yang diharapkan : - mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau
menurunkan resiko infeksi.
- Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang
nyaman.
INTERVENSI RASIONALISASI
Mandiri
• Awasi suhu.


• Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat.


Kolaborasi
• Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau pengisapan untuk pewarnaan gram,kultur/sensitifitas.

• Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi.

• Malnutrisi dapat memadekuat pengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.

• untuk mengidentifikasi organisme penyabab dan kerentanan terhadap berbagai anti microbial


Diagnosa 5 : Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti.
Hasil yang diharapkan : menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan.
INTERVENSI RASIONALISASI
• Jelaskan tentang penyakit individu.



• Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.

• Tunjukkan tehnik penggunaan inhakler. • Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan.

• Penting bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan.

• Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifanya.

C. INFLUENZA A BARU (H1N1)
1. Pendahuluan
Beberapa kaidah yang perlu dipahami adalah sebagai berikut :
• Situasi influenza A baru (H1N1) baik di tingkat global maupun regional serta di Indonesia sendiri terus mengalami perkembangan.
• Hingga sekarang karakteristik virus H1N1 masih tetap sama dengan karakteristik virus yang pertama terjadi di Meksiko.
• Bagian terbesar penderita flu H1N1 dengan gejala ringan yang sembuh dengan sendirinya maupun dengan terapi antivirus.
• Sebagian kecil memerlukan perawatan rumah sakit bahkan ICU.
• Telah terjadi kematian akibat virus H1N1 baru.
• Data data klinik baik yang dipublikasikan terlebih data klinik di Indonesia masih sangat sedikit.

2. Epidemiologi dan Surveilans
a. Persiapan Menghadapi Gelombang Kedua
• WHO memberitahukan kepada negara-negara belahan utara untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan terjadinya gelombang kedua pandemi. Negara dengan iklim tropis, sebaiknya juga bersiap-siap untuk bertambahnya jumlah kasus.
• Untuk negara belahan selatan sebaiknya tetap waspada karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, titik utama (hot spot) lokal dapat meningkatkan transmisi dan berpotensi menjadi pandemi.
• Virus H1N1 saat ini merupakan strain virus yang dominan.

b. Rekomendasi Surveilans
• Pemasangan thermal scanner, di pintu-pintu masuk negara RI dengan tujuan untuk mendeteksi kemungkinan kasus H1N1 yang berasal dari luar negeri.
• Penelusuran kontak sudah tidak efektif karena sudah terjadi penularan di masyarakat.
• Surveilans epidemiologi direkomendasikan hanya untuk :
 Kasus-kasus yang memerlukan rawat inap, khususnya kasus dengan pneumonia.
 Surveilans ILI berbasis laboratorium dan klinis secara sentinel. Hal ini dikarenakan tahapan surveilans di Indonesia berdasarkan perkembangan kasus sudah memasuki fase mitigasi, dimana containment atau pegendalian penyebaran sudah sulit untuk dilakukan.
 Penghitungan tambahan kasus positif masih diperlukan hal ini terkait dengan perhitungan kebutuhan logistik dan penyebaran luas wilayah yang terjangkit.

• Khusus untuk kasus meninggal perlu dilengkapi data medis yang lebih lengkap, hal ini untuk mendalami lebih lanjut tentang karakteristik kasus yang meninggal baik aspek virologik, pathogenesis, patofisiologi maupun penatalaksanaannya

c. Surveilans Virologi
Surveilans saat ini sebaiknya lebih diarahkan kepada pengamatan secara intensif terhadap kemungkinan mutasinya virus H1N1 (surveilans virologi Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru H1N1 di laboratorium dan kasus klaster). Hal ini untuk memonitor kemungkinan terjadinya peningkatan virulensi dari virus tersebut ataupun kemungkinan perubahan karakteristik virus.

3. Diagnosis pada Dewasa dan Anak
• Diagnosis influenza A baru H1N1 ditegakkan berdasarkan kriteria klinis berupa gejala Influenza Like Ilness (ILI) yaitu demam dengan suhu > 380C, batuk, pilek, nyeri otot dan nyeri tenggorok. Gejala lain yang mungkin menyertai adalah sakit kepala, sesak napas, nyeri sendi, mual, muntah dan diare. Pada anak gejala klinis dapat terjadi fatique.
• Diagnosis influenza A baru H1N1 dengan RT-PCR dilakukan hanya untuk pasien yang dirawat, kluster dan kasus-kasus influenza yang tidak lazim (unusual).
• Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien yang dirawat (kriteria sedang dan berat).
 Laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, gula darah sewaktu.
 Radiologi: foto toraks
 Pemeriksaan lainnya tergantung indikasi
 Pada darah perifer lengkap bila ditemukan leukopenia dan trombositopenia dapat memperkuat diagnosis namun bila tidak ditemukan leukopenia dan trombositopenia tidak menyingkirkan diagnosis.

• Diagnosis influenza A baru H1N1 secara klinis dibagi atas kriteria ringan, sedang dan berat.
 Kriteria ringan yaitu gejala ILI, tanpa sesak napas, tidak disertai pneumonia dan tidak ada faktor risiko.
 Kriteria sedang gejala ILI dengan salah satu dari kriteria: faktor risiko, penumonia ringan (bila terdapat fasilitas foto rontgen toraks) atau disertai keluhan gastrointestinal yang mengganggu seperti mual, muntah, diare atau berdasarkan penilaian klinis dokter yang merawat.
 Kriteria berat bila dijumpai kriteria yaitu pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran menurun, sindrom sesak napas akut (ARDS) atau gagal multi organ.

• Kelompok risiko tinggi pada dewasa adalah faktor yang dapat memperberat keadaan yaitu penyakit paru kronik (asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)), kehamilan, obesitas, penyakit kronik lainnya (penyakit jantung, diabetes mellitus, gangguan metabolik, penyakit ginjal, hemoglobinopati, penyakit immunosupresi, gangguan neurologi), malnutrisi dan usia > 65 tahun.
• Kelompok risiko tinggi pada anak adalah :
 Anak berusia kurang dari 5 tahun.
 Anak atau remaja (usia 6 bulan – 18 tahun) yang mendapat terapi aspirin jangka panjang dan berisiko mengalami sindrom Reye setelah mendapat infeksi virus influenza.
 Anak dengan penyakit paru kronik (asma, bronkiektasis, dysplasia bronkopulmonal), penyakit jantung, ginjal dan hati, penyakit neuromuskular kronik (sindrom down, CP spastic, delayed development, miastenia gravis).
 Anak dalam keadaan imunokompromais (keganasan, anemia aplastik,dalam terapi imunosupresi atau HIV), diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dan tinggal di rumah perawatan dan fasilitas perawatan kesehatan lainnya.

• Kriteria pneumonia berat pada dewasa yaitu bila dijumpai salah satu atau lebih kriteria minor atau mayor.
 Kriteria minor yaitu Frekuensi napas > 30 /menit, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral atau melibatkan 2 lobus, tekanan sistolik < 90 mmHg, tekanan diastolik < 60 mmHg.  Kriteria mayor yaitu perburukan foto toraks secara progresif dalam 24 jam, membutuhkan vasopressor > 4 jam (septik syok), kreatinin serum >2 mg/dl atau peningkatan >2 mg/dl, pada penderita penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis, PaO2/FiO2 kurang dari 300 mmHg.

• Kriteria pneumonia pada anak yaitu gejala ILI dan frekuensi napas yang cepat (frekuensi napas sesuai usia) dan/atau terdapat kesukaran bernapas yang ditandai dengan retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal, retraksi subkostal (chest indrawing) atau napas cuping hidung.

4. Tatalaksana pada Dewasa dan Anak
a. Kasus ringan
Sebagian besar kasus akan sembuh dalam waktu satu minggu. Penanganan pada kasus ringan tidak pemerlukan perawatan RS, tidak memerlukan pemberian antivirus kecuali kasus dengan klaster serta diberikan pengobatan simptomatik dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) pada pasien dan keluarga. Pasien diamati selama 7 hari. Pengobatan simptomatik diberikan sesuai gejala. Salisilat tidak boleh diberikan pada anak di bawah 18 tahun dapat menyebabkan Reye Syndrome.
b. Kasus sedang
Perawatan di ruang isolasi dan diberikan antivirus. Dilakukan pemeriksaan T-PCR hanya satu kali pada awal. Jika keadaan umum dan klinis baik dapat dipulangkan dengan KIE. Jika terjadi perburukan rawat ICU penatalaksanaan sesuai kasus berat (pengawasan ketat tanda kegawatdaruratan misal pemeriksaan laktat dehidrogenase > 4, analisis gas darah menunjukkan PaCO2 <30 mmHg, C-reactive protein atau procalcitonine). c. Kasus berat. Perawatan di ruang isolasi ICU/PICU/NICU dan diberikan antivirus serta diperiksa RT-PCR satu kali pada awal. Pada influenza A baru H1N1 yang berat dengan pneumonia gambarannya sama dengan pneumonia pada flu burung. d. Kasus berat pada anak Apabila terdapat pneumonia dan/atau ditemukan gejala berbahaya / berat seperti tidak bisa minum, muntah terus menerus, kebiruan di sekeliling bibir, kejang, tidak sadar , anak dibawah 2 tahun dengan demam atau hipotermia, pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran menurun, ARDS (sindroma sesak nafas akut), gagal multi organ. e. Kriteria rawat ICU Yaitu gagal napas (kriteria gagal napas: analisis gas darah PaCo2 < 30 mmHg, frekuensi pernapasan > 30 x/m, pada anak sesuai usia, rasio PaO2/FiO2 < 200 ARDS, < 300 ALI), syok (kriteria syok: tekanan darah diastolic < 80 mmHg, pada anak takikardia, laktat dehirogenase > 4, bila tersedia fasilitas)

Antiviral
• Direkomendasikan pemberian Oseltamivir atau Zanamivir. Zanamivir dapat diberikan pada kasus yang diduga resisten Oseltamivir atau tidak dapat menggunakan Oseltamivir.
• Pemberian antiviral tersebut diutamakan pada pasien rawat inap dan kelompok risiko tinggi komplikasi.
• Pengobatan dengan Zanamivir atau Oseltamivir harus dimulai sesegera mungkin dalam waktu 48 jam setelah awitan penyakit.
• Dosis pemberian Oseltamivir untuk dewasa adalah 2 x 75 mg selama 5 (lima) hari, dapat diperpanjang sampai 10 hari tergantung respons klinis.
• Dosis pemberian Zanamivir untuk usia = 7 tahun dan dewasa adalah 2 x 10 mg inhalasi.
• Dosis Oseltamivir pada anak, 2 mg/kg BB dibagi dalam 2 (dua) dosis atau berdasarkan kisaran berat badan.
Berat Badan Dosis Oseltamivir
< 15 Kg 30 mg (2x/hari) 15-23 Kg 45 mg (2x/hari) 24-40 Kg 60 mg (2x/hari) >40 Kg 75 g (2x/hari)

• Rekomendasi dosis oseltamivir untuk anak < 1 tahun. Usia Dosis Oseltamivir < 3 bulan 12 mg (2x/hari) 3-5 bulan 20 mg (2x/hari) 6-11 bulan 25 mg (2x/hari) • Perempuan hamil direkomendasikan untuk diberi Oseltamivir atau Zanamivir. • Antiviral tidak direkomendasikan untuk profilaksis pada influenza A (H1N1). Antibiotik • Bila terjadi pneumonia maka antibiotik direkomendasikan untuk diberikan berdasarkan evidence based dan pedoman pneumonia didapat masyarakat. Antibiotik diberikan sesuai pedoman lokal. • Tidak direkomendasikan pemberian antibiotik profilaksis. • Rekomendasi antibiotik pada dewasa yang dianjurkan adalah golongan betalaktam atau sefalosporin generasi III, aminoglikosida atau fluorokuinolon • respirasi (levofloksasin atau moksifloksasin) kecuali untuk anak. • Pada anak dengan pneumonia ringan dapat diberikan Ampicillin (100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis) dan bila klinis berat Ampicillin dapat dikombinasikan dengan golongan Aminoglikosida yaitu Gentamisin (7.5mg/kgBB/hr) atau Amikasin (15-25 mg/kgBB/ hr). Kortikosteroid • Penggunaaan kortikosteroid secara rutin harus dihindarkan pada pasien influenza A baru H1N1. • Dapat diberikan pada syok septik yang memerlukan vasopresor dan diduga mengalami adrenal insufisiensi. dapat diberikan dosis rendah hidrokortison 300 mg /hari dosis terbagi. 5. Tatalaksana ICU pada Dewasa • Kriteria perawatan di ruang rawat intensif (ICU) adalah semua pasien yang memenuhi kriteria sepsis berat, syok septic, acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). • Gangguan fungsi napas yang memerlukan perawatan intensif atau kriteria intubasi dan penggunaan ventilator sesuai dengan kriteria Pontoppidan yang dimodifikasi. • Bila memasuki untuk tindakan observasi ketat, fisioterapi dada dan terapi oksigen sebaiknya pasien dirujuk ke ICU atau paling tidak di high care unit. • Bila terjadi kecenderungan perburukan dalam waktu kurang dari 6 jam, yang menunjukkan kebutuhan oksigen yang semakin meningkat untuk mendapatkan SaO2 > 95%, maka pasien dirujuk ke ICU.

Pengelolaan umum di ICU
Pengobatan ARDS akibat infeksi virus influenza A (H1N1) baru harus berdasarkan pada evidence based guideline seperti yang terdapat pada rekomendasi Surviving Sepsis Campaingn 2008 yang sudah dipublikasikan:
• Resusitasi awal (dalam 6 jam pertama) pada pasien hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4 mmol/L dengan target atau tujuan resusitasi yang telah ditentukan.
• Membuat diagnosis dengan melakukan pemeriksaan kultur sebelum memulai pemberian antibiotika (tidak menunda pemberian antibiotika secara bermakna). Melakukan pemeriksaan pencitraan (imaging) segera untuk memastikan dan mencari sumber infeksi.
• Terapi antibiotik diberikan sesegera mungkin dan diberian dalam jam pertama setelah diagnosis sepsis berat atau syok sepsis ditegakkan. Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik spektrum luas. Mengevaluasi ulang antibiotik setiap hari untuk menilai efikasi, mencegah resistensi dan lainnya.
• Identifikasi sumber infeksi sesegera mungkin dalam 6 jam pertama dan melakukan tindakan untuk mengatasinya. Memilih tindakan source control yang menghasilkan efikasi maksimal dan gangguan fisiologi minimal.
• Terapi cairan. Resusitasi cairan dengan menggunakan kristaloid atau koloid. Targer CVP = 8 mmHg (dengan ventilasi mekanik = 12 mmHg). Menggunakan fluid challenge tehnique and memonitor bila terjadi perbaikan. Laju pemberian cairan harus diturunkan jika terdapat peningkatan tekanan pengisian jantung tanpa perubahan hemodinamik secara bersamaan.
• Pemberian vasopresor untuk mempertahankan MAP = 65 mmHg. Pilihan pemberian awal norepineprin dan dopamin adalah melalui vena sentral. Tidak menggunakan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal. Menggunakan kateter arterial pada pasien yang menggunakan vasopresor.
• Terapi inotropik. Menggunakan dobutamin pada pasien dengan gangguan miokard yang ditandai dengan peningkatan tekana pengisian jantung dan curah jantung yang rendah. Jangan meningkatakan cardiac index untuk mendapatkan level supranormal.
• Penggunaan steroid tidak direkomendasikan rutin pada infeksi H1N1 tapi dosis rendah kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada syok septik yang memerlukan vasopresor dan diduga mengalami adrenal insufisiensi. Hidrokortison lebih dipilih daripada deksametason. Dosis hidrokortiosn sebaiknya < 300 mg/hari. Jangan menggunakan kortikosteroid untuk menangani sepsis apabila tidak ada syok kecuali endokrin dan riwayat pemberian kortikosteroid memang terbukti diperlukan. • Penggunaan rhAPC (Recombinant Human Activated Protein C). Saat ini belum tersedia di Indonesia. Pertimbangkan rhAPC pada pasien dengan gangguan fungsi organ yang diinduksi oleh sepsis dengan penilaian klinis mempunyai risiko kematian tinggi (APACHE II = 25 atau kegagalan organ multiple) jika tidak terdapa kontraindikasi. Pasien dewasa dengan sepsis berat dan risiko kematian yang rendah (APACHE II < 20 atau kegagalan organ tunggal) sebainya jangan diberikan rhAPC. • Pemberian komponen darah apabila penurunan Hb sampai > 7.0 g/dL (<70 g/L) hingga mencapai 7.0-9.0 g/dL pada dewasa. Nilai Hb yang lebih tinggi dibutuhkan pada keadaan tertentu (iskemia miokardial, hipoksemia berat, perdarahan akut, penyakit jantung sianoss, asidosis laktat. Jangan menggunakan terapi antitrombin. • Ventilasi mekanik pada sepsis yang dipicu ALI/ARDS. Menggunakan mode ventilator apa saja. Set ventilator setting untuk mencapai inisial Vt = 8 ml/kg prediksi BB. Set inisial laju napas mendekati volume baseline (tidak lebih dari 35x/menit). Target volume tidal 6 ml/kg prediksi berat badan pasien dengan ALI/ARDS. Target pH 7.30 – 7.45. Manajemen asidosis (pH < 7.30). PaCO2 dapat ditingkatkan diatas normal. Jika dibutuhkan untuk meminimalisir tekanan plateau dan volume tidal.Target oksigenisasi PaO2 55-80 atau SpO2 88-95%. Pengaturan PEEP untuk mencegah kolpas paru ekstensif pada ekspirasi akhir. Pasien dengan ventilasi mekanik pertahankan posisi semirecumbent (bagian atas tempat tidur dinaikkna sampai 45°). Menggunakan protokol weaning dan SBT secara teratur untuk mengevaluasi potensi penghentian ventilasi mekanik. Jangan menggunakan kateter arteri plmonalis untuk monitor rutin pasien ALI/ARDS. Mengunakan strategi cairan konservatif pada pasien ALI yang tidak terbukti mengalami hipoperfusi jaringan. • Sedasi, analgesia dan blok neuromuskular pada sepsis. Menggunakan protokol sedasi dengan target sedasi untuk pasien ventilasi mekanik dalam keadaan kritis. Dapat menggunakan sedasi bolus intermitten atau sedasi infuse kontinu untuk mencapai titik akhir (skala sedasi) dengan lightening/interupsi harian untuk mengembalikan kesadaran. Titrasi jika dibutuhkan. Mencegah blok neuromuskuler jika memungkinkan. Monitor kedalaman blok dengan train of four ketika menggunakan infuse kontinu. • Mengontrol glukosa dengan menggunakan insulin IV untuk mengontrol hiperglikemia pada pasien dengan sepsis berat setelah stabilisasi di ICU target gula darah < 150 mg/dL (8.3 mmol/L) menggunakan protokol tervalidasi untuk pengaturan dosis insulin. Memberikan sumber kalori glukosa dan monitor nilai gula darah setiap 1-2 jam (setiap 4 jam saat stabil) pada pasien yang mendapatkan insulin IV. Intrepretasi glukosa darah yang rendah secara hati-hati pada hasil pemeriksaan point of care testing, karena tehnik ini mungkin memberikan nilai yang lebih tinggi (overestimate) dari nilai glukosa pada darah arteri atau plasma. • Penggantian ginjal. Hemodialisis intermiten dan CVVH dianggap sama. CVVH menawarkan manajemen yang lebih mudah pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil. • Terapi bikarbonat. Jangan menggunakan terapi bikarbonat untuk tujuan memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor sewaktu menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan pH = 7.15. • Profilaksis Deep Vein Thrombosis (DVT). Menggunakan unfractionated heparin (UFH) dosis rendah atau low molecular weight heparin (LMWH), kecuali ada kontraindikasi. Menggunakan peralatan profilaksis mekanik, seperti compression stockings atau intermittent compression device, bila heparin merupakan kontraindikasi. • Profilaksis Stress Ulcer. Melakukan pencegahan stress ulcer dengan menggunakan H2 bloker atau Proton pump inhibitor. Keuntungan pencegahan perdarahan saluran cerna atas harus mempertimbangkan potensi munculnya ventilator acquired pneumonia. • Mempertimbangkan keterbatasan dukungan. Mendiskusikan rencana perawatan lebih lanjut dengan pasien dan keluarga. Berikan gambarangambaran seperti perkiraan hasil perawatan dan harapan yang realistik. Kriteria keluar ICU Setiap pasien yang dirawat di ICU dapat dikeluarkan setelah memenuhi kriteria yaitu penyakit atau keadaan pasien dan cukup stabil sehingga tidak memerlukan terapi atau pemantauan intensif lebih lanjut, terapi atau pemantauan intensif tidak diharapkan bermanfaat atau tidak memberikan hasil (pasien dengan mati batang otak, penyakit dengan stadium akhir). Dalam hal tersebut pengeluaran pasien dari ICU dilakukan setelah memberitahu dan disetujui oleh keluarga terdekat pasien, pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa). 6. Tatalaksana ICU pada Anak Indikasi untuk masuk ICU anak yaitu peningkatan Work of Breathing (WOB), kebutuhan terapi oksigen dengan FiO2 > 0.5, PaO2 menurun, PCO2 meningkat, PaO2/FiO2 < 300, gangguan sirkulasi yang mengancam nyawa, kesadaran menurun atau kelainan neurologik lain, gangguan metabolik berat dan gagal multi organ Perawatan Jalan Nafas dan Respirasi • Terapi oksigen dengan dengan alat non invasif seperti nasal kanul, masker atau nasal CPAP, pertahankan saturasi = 90%. • Jika memakai ventilasi mekanik, dianjurkan dengan pengaturan awal sebagai berikut:  Mode : Pressure Control Ventilation (PCV)  Volume tidal : 6-8 ml/kgBB  Titrasi PEEP > 5 cm H2O
 Respiratory Rate (RR) sesuai usia
 Tekanan Inspirasi : mulai dari 10 cm H2O
 FiO2 : 1.0 (100%)

• Lakukan pemeriksaan analisis gas darah 30 menit setelah pengaturan awal.
• Pertahankan saturasi 88-95%.

Mempertahankan Sirkulasi yang Adekuat
• Pemberian cairan resusitasi berupa kristaloid atau koloid 20 ml/kgBB dalam 5-10 menit dengan pemantauan pada tingkat kesadaran, frekuensi denyut jantung, kualitas nadi, waktu pengisian kapiler < 3 detik, produksi urin > 1 ml/kgBB/jam, saturasi vena sentral > 70% dan kadar laktat < 2 mmol/L. • Vasopresor dan inotropik hanya digunakan setelah resusitasi cairan yang adekuat. • Dopamin adalah pilihan pertama pada hipotensi yang refrakter terhadap cairan. • Pertahankan volume cairan tubuh normal dan pemantauan dengan CVP. • Pemberian kortikosteroid seperti hidrokortison atau metilprednisolon 1-2 mg/kgBB hanya diberikan bila terindikasi adanya insufisiensi adrenal relatif. Antibiotik • Antibiotik empirik sesuai pedoman pengobatan di masyarakat dan pedoman lokal. • Sefalosporin generasi III: sefotaksim, seftazidim (25-50 mg/kgBB/hr dibagi 3) • Aminoglikosida: gentamisin (7,5mg/kgBB/hr), amikasin (15-25 mg/kgBB/ hari) Pemberian Nutrisi • Basal metabolic rate sesuai umur  1 tahun : 55 kkal/kgBB/hari  5 tahun : 45 kkal/kgBB/hari  10 tahun : 38 kkal/kgBB/hari • Kebutuhan energi sesuai berat badan  < 10 kg : 100 kkal/kgBB/hari  10-20 kg : 1000 kkal + 50 kkal/kgBB/hari untuk berat diatas 10 kg  > 20 kg : 1500 kkal + 20 kkal/kgBB/hari untuk berat diatas 20 kg

• Kontrol glukosa : 4-6 mg/kgBB/menit

Indikasi keluar ICU Anak
• Tidak membutuhkan tunjangan dan pemantauan ketat pernafasan dan hemodinamik.
• Kondisi pasien stabil minimal 24 jam.

7. Laboratorium
• Uji diagnostik laboratorium yang direkomendasi untuk uji konfirmasi kasus influenza A H1N1 adalah real time (RT)-PCR. Hasil dinyatakan positif jika untuk virus influenza A baru H1N1 positif dan untuk H1, H3, dan H5 memberikan hasil negatif dengan teknik tersebut. Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi virus influenza A baru H1N1 diperlukan spesimen swab atau aspirat nasofaring, swab hidung dan swab tenggorok atau bilas hidung atau aspirat trachea pada saat pasien datang. Tata cara spesimen dan uji laboratorium meliputi jenis, cara pengambilan, pengolahan dan penanganan spesimen serta metoda pemeriksaan sesuai dengan pedoman yang dianjurkan CDC.
• Uji Rapid Test untuk influenza A tidak direkomendasikan untuk uji konfirmasi kasus influenza A baru H1N1.
• Lembaga khusus untuk melakukan pemantauan karakter dan perubahan virus secara terus menerus perlu ditetapkan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi serta pengembangan vaksin influenza.

8. Imunisasi Influenza A Baru (H1N1)
• Vaksinasi influenza musiman A dan B (seasonal influenza vaccine), yang tersedia tidak bermanfaat untuk mencegah virus Influenza A baru H1N1.
• Untuk mencegah penyebaran virus Influenza A baru H1N1 di masyarakat, maka perlu diupayakan vaksin Influenza A baru H1N1.
• Prioritas sasaran imunisasi influenza A baru (H1N1) mengacu kepada rekomendasi SAGE, ACIP dan CDC adalah wanita hamil, petugas kesehatan dan personal pelayanan gawat darurat, individu yang merawat bayi berumur kurang dari 6 bulan (misalnya orang tua, saudara, petugas penitipan anak), anak usia 6 bulan - 4 tahun, anak usia lebih dari 5 tahun sampai dewasa dengan faktor risiko tinggi (menderita penyakit kronis dan defisiensi sistem kekebalan/immuno compromized), dewasa sehat usia lebih dari 65 tahun (apabila vaksin influenza A baru H1N1 mencukupi).
• Dosis dan Cara pemberian:
 Dosis vaksin untuk usia 6 bulan sampai kurang dari 3 tahun: 0,25 ml dan untuk usia diatas 3 tahun sampai dewasa : 0,5 ml. Diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu.
 Vaksin diberikan secara intramuskular di daerah otot deltoid pada orang dewasa dan pada anak yang lebih besar sedangkan untuk bayi diberikan di paha anterolateral.

• Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) vaksin Influenza A Baru H1N1 seperti imunisasi influenza musiman pada umumnya :
 Reaksi lokal dan ringan: nyeri lokal bekas suntikan, kemerahan dan indurasi
 Reaksi sistemik berupa: demam ringan, nyeri kepala, menggigil, lemas dan mialgia (flu-like symptoms) jarang terjadi. Reaksi sistemik yang segera terjadi (sistemik anafilaktik) jarang ditemukan dan belum dilaporkan. Reaksi sistemik lain yang perlu diantisipasi dan dilaporkan pada orang dewasa adalah Sindrom Guillane Barre
 Pada pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau adanya respons alergi terhadap protein telur, vaksinasi influenza A baru H1N1 jangan diberikan
• Kontra indikasi vaksinasi Influenza A baru H1N1 apabila terdapat riwayat anafilaksis pada imunisasi terdahulu, sedang menderita penyakit demam akut yang berat dan individu dengan defisiensi imun.
• Referensi terbaru tentang vaksinasi Influenza A baru H1N1cukup dengan satu kali pemberian terbukti memperlihatkan daya proteksi yang baik.

9. Rekomendasi Penelitian
• Memantau proporsi H1N1/H5N1 terhadap flu musiman secara berkesinambungan.
• Memantau karakteristik virologi H1N1.
• Mengevaluasi rapid test yang beredar.
• Mengevaluasi sensitivitas obat antivirus.
• Mengevaluasi efektivitas obat antivirus baik monoterapi maupun kombinasi pada kasus berat.
• Meneliti kasus berat dan meninggal, faktor-faktor yang berpengaruh, diagnostik virologik, karakteristik klinik, parameter yang digunakan untuk menilai prognosis, evaluasi terapi farmakologik dan non farmakologik.
• Mengevaluasi manfaat vaksin flu musiman terhadap H1N1, khususnya dalam mencegah atau menekan tingkat keparahan penyakit dan kematian.
• Mengevaluasi efektifitas dan KIPI vaksin H1N1.

10. Penutup
Mengingat situasi influenza A baru H1N1 masih terus berkembang perlu dilakukan pemantauan secara terus menerus serta merevisi setiap ada fenomena baru atau hal hal baru yang bermakna baik dari aspek epidemiologik, virologik, klinik, terapi maupun imunisasi dengan tujuan mencegah meluasnya penyakit, mencegah kematian dan menekan angka kematian seminimal mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar